Thursday, April 9, 2015

9 Summers 10 Autumns
Dari Kota Apel Ke The Big Apple

Oleh : Iwan Setyawan

Kali ini kita akan membahas sebuah novel karya Iwan Setyawan. Novel ini termasuk novel terlaris loh di toko-toko buku. Ceritanya itu inspiratif dan bisa memotivasi untuk kita-kita nih kawula muda. Berikut adalah sinopsis atau rangkaian cerita pendek dari novel karya  Iwan Setyawan.
Di kaki Gunung Panderman, di rumah berukuran 6 x 7 meter, seorang anak laki-laki bermimpi. Kelak, ia akan membangun kamar di rumah mungilnya. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang terbatas, membuat ia bahkan tak memiliki kamar sendiri. Bapaknya, sopir angkot yang tak bisa mengingat tanggal lahirnya. Sementara ibunya, tidak tamat Sekolah Dasar. Ia tumbuh besar bersama empat saudara perempuan. Tak ada mainan yang bisa diingatnya. Tak ada sepeda, tak ada boneka, hanya buku-buku pelajaran yang menjadi “teman bermain”-nya. Di tengah kesulitan ekonomi, bersama saudara-saudaranya, ia mencari tambahan uang dengan berjualan di saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar. Pendidikanlah yang kemudian membentangkan jalan keluar dari penderitaan. Dan kesempatan memang hanya datang kepada siapa yang siap menerimanya. Dengan kegigihan, anak Kota Apel dapat bekerja di The Big Apple, New York. Sepuluh tahun mengembara di kota paling kosmopolit itu membuatnya berhasil mengangkat harkat keluarga sampai meraih posisi tinggi di salah satu perusahaan top dunia. Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York dapat mengobati kenangan yang getir. Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi dan menghadirkan seseorang yang membawanya menengok kembali ke masa lalu. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.
Bundelan kertas penting yang disesaki hikayat kerja keras, kehangatan keluarga, dan perantauan. Sungguh sebuah praktik man jadda wajada yang terang. Selamat mereguk semangat perjuangan dan kesabaran anak sopir angkot di sudut Jawa Timur yang berkilau di New York. Inspiratif.
          Nah, kawula muda pasti penasaran kan sama kelanjutan ceritanya. Udah deh buruan beli novel ini. Gak bakalan rugi deh, karena kita bisa banyak banget ngambil sisi positif sebagai isnpirasi hidup kawula muda loh.







Source:

http://www.lintasberita.web.id/buku-dan-novel-terlaris-best-seller-gramedia/
Kebudayaan di Yogyakarta yang Tak Pernah ada Habisnya


Yogyakrta masih sangat kental dengan budaya jawanya. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sejak masih kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat Yogyakarta sering menyaksikan dan bahkan mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di kota ini. Tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Seni dan budaya merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kesenian khas Yogyakarta antara lain adalah ketoprak, jathlan, dan wayang kulit. Yogyakarta juga dikenal dengan oerak dan gaya yang unik membuat batik kain dicelup. Tapi, kali ini kita akan membahas tentang ketropak, dan bagaimana perkembangan ketoprak di Yogyakarta.

            Sekarang-sekarang ini ketoprak tidak indentik lagi dengan orang tua. Kesenian khas Jawa ini juga memiliki penggemar dari kalangan muda. Tak hanya menonton, banyak anak muda Jogja yang tertarik main ketoprak. Hal itu seperti yang dilihat pada Festival Ketoprak antar-kecamatan di Pendopo Tamansiswa Jogja. Festival tersebut dapat terlaksnakan karena mendapat bantuan dana dari pemerintah Jogja.

            Ketoprak masih diminati di Jogja. Tidak hanya di 14 kecamatan, 45 kelurahan di kota Jogja juga hampir semuanya memiliki kelompok ketoprak. Peminatnya, mulai dari orang tua hingga anak muda. Banyak anak muda yang senang ketoprak, walaupun belum mengrti dasar pemain ketoprak. Tapi, tidak apalah jika belum mengerti yang penting anak muda sudah seneng dulu, cinta dulu dengan ketopraknya. Memang, membuat anak muda senang dengan ketoprak itu tidak mudah apalagi anak muda jaman sekarang yang sudah terlalu banyak terpengaruhi oleh budaya asing. Namun, demi ketoprak itu sendiri, ketopral sudah dikolaborasikan antara pakem dengan gaya modern agar ketoprak disenangi oleh kawula muda. Bahkan ketoprak ada kalanya dimainkan dengan lagu pop atau dangdut untuk menambah kertarikan para kawula muda.

            Membangkitkan energi budaya seperti itulah yang selama ini dilakukan oleh Jogja untuk terus memberikannapas pada kebudayaan dann tradisi-tradisi daerahnya. Ada hal yang menarik yang dilakukan oleh Jogja untuk memberikan nafas dan merawat budayanya, jogja tak memilih untuk menggelar pagelaran megah secara kolosal dalam bentuk pekan budaya atau bulan festival. Seballiknya Jogja justru lebih senang menggelar acara-acara berskala kecil dan menengah sepanjang tahun yang secara konsisten tersebar di banyak tempat. Ini adalah cara yang cerdik yang seharusnya dicontoh oleh kota-kota yang lain karena efeknya lebih terasa dan mampu menjangkau ruang-ruang kehidupan masyarakat secara langsung.

            Oleh karena itulah kawula muda sudah harus mencintai kebudayan khas dari negeri ini, karena kalo bukan kita siapa lagi yang dapat melestarikannya. Peran pemerintah pun juga sangat dibutuhkan untuk mensosialisakan kepada masyarakat-masyarakat yang kurang atau bahkan tidak mengetahui tentang kebudayaan asal daerah tempat tinggal mereka. Mulailah sesuatu dari hal yang kecil dan di ruang lingkup yang kecil, karena perubahan sekecil apapun dapat merubah hal yang besar di kemudian hari jika kita mau berusaha dan berjuang.





Source:
Ajiprabowo.blogspot.com/2011/10/kebudayaan-daerah-istimewa-yogyakarta.html?m=1
m.kompasiana.com/post/read/674163/3/jogja-yang-tak-pernah-kehabisan-energi-dalam-merawat-budaya.html

www.radarjogja.co.id/blog/2014/11/02/festival-ketoprak-gairahkan-seniman-muda/